Tahu kan Karang Asem kota Pasuruan sering banjir beberapa hari belakangan ini? Meskipun tidak punya televisi, aku bisa menebak tayangan tentang banjir di Pasuruan. Jelas mereka merasakan langsung akibat banjir itu. Dan karena mereka punya “corong”, mereka jadi rajin koar-koar.
dari angkot. “Kendaraan sama sekali tidak gerak,” lapornya. “Aku sempat keciprat air karena ada motor melintas seenaknya. Trus aku kejar orang itu, sampai lampu merah kupukul pundaknya. Kuomelin dia.” Aku tertawa campur iba mendengar ceritanya. Aku bisa membayangkan seperti apa kesalnya keciprat air di jalan. Apalagi jika kita berada di posisi lemah, misalnya sebagai pejalan kaki, sementara yang menciprati kita adalah mobil bagus. Bawaannya pengen nampol kan?
Seperti biasa, saat hujan seperti ini yang menjadi masalah buatku adalah… cucian! Dengan tempat jemuran terbatas, kesabaranku diuji ketika hujan terus mengguyur. Lagi pula, kalau tidak hujan, matahari tampak malas. Hanya muncul sebentar. Jadi kangen matahari deh.
Nah, ada satu cerita dari temanku yang masih kuingat sampai sekarang. Ceritanya, pagi itu hujan deras sekali. Pol deh derasnya. Sebelum berangkat, temanku mengecek dari internet daerah mana yang kira-kira macet parah. Dia kemudian memutuskan untuk naik metromini 49 yang lewat Utan Kayu. Kata temanku, dia cukup beruntung lewat situ karena meski macet, tidak terlalu parah. Dia naik dari terminal Rawamangun–terminal terdekat dari rumah. Waktu bus itu sedang ngetem, temanku sempat mengobrol dengan sang supir. Jalanan yang macet dan di mana-mana banjir, membuat si supir baru dapat dua rit sejak pukul 4 pagi (padahal saat itu sudah pukul 9 lebih, eh atau malah hampir pukul 10 pagi ya?). Supir itu kemudian bercerita soal saudara (atau tetangganya, lupa deh aku) yang awalnya tinggal di Kampung Pulo. Seperti diketahui, Kampung Pulo adalah daerah langganan banjir. Kini saudaranya itu pindah di daerah Klender dan tak mau balik lagi ke Kampung Pulo. Apa penyebabnya? Semata karena banjir? Rupanya tidak sesederhana itu. Ceritanya, ketika daerah itu dilanda banjir, si saudara itu berkemas hendak mengungsi. Saat itu tak disangka ada sesuatu yang tertinggal dan hanyut oleh banjir. Tahu apa yang hanyut? Anaknya yang berusia dua tahun! Aku yang mendapat cerita itu hanya terlongo-longo. Kok bisa? Bisa-bisanya anak sampai kelupaan “diangkut”? Ah, entahlah. Mungkin si orang tua terlalu panik?
Aku kadang berpikir, betapa ringkihnya Pasuruan ini. Kena hujan deras saja langsung banjir. Jelas ini merugikan banyak orang. Ditambah lagi banjir pasti menimbulkan kemacetan. Kalau macet begitu, berapa banyak BBM yang terbuang sementara nun jauh di ujung Indonesia sana masih banyak orang yang butuh BBM. Berapa pula banyak waktu yang terbuang sia-sia hanya karena orang terjebak banjir dan kena macet? Belum lagi kalau sampai ada bayi hanyut segala. Halah… halah… Bagiku sendiri, suasana hujan dan banjir ini membuat sayuran jadi mahal. Kangkung yang biasanya cukup kutukar dengan uang dua ribuan, kini jadi lima ribu.
Aku berharap Pasuruan bisa lebih baik lagi kondisinya. Selain itu yang menurutku penting adalah semoga kota-kota lain bisa belajar dari Pasuruan. Kalau bisa, cukup Pasuruan saja deh yang mengalami kekonyolan seperti ini. Maksudku, yang kena hujan deras saja langsung banjir. Semoga kota-kota lain juga berbenah, jangan sampai kaya Pasuruan rusaknya.
0 komentar:
Posting Komentar